Kamis, 17 November 2011

Virus Inovasi

Salah satu jurus yang sering dibilang ampuh dalam memenangi persaingan adalah inovasi. Inovasi atau mati, begitu jargonnya. Tanpa inovasi, jangan berharap bisnis akan lancar, pelanggan akan loyal, dan perusahaan akan tetap hidup. Sayangnya, banyak yang beranggapan bahwa inovasi lahir tiba-tiba lantaran sebuah ide yang cemerlang muncul selagi asyik minum kopi.
Berpuluh tahun yang silam, Thomas Alva Edison sudah membuktikan bahwa inovasi lahir sebagian dari ide dan lebih banyak lagi dari kerja keras. Hingga berhasil menciptakan lampu pijar yang layak pakai, Edison mesti melewati berpuluh kali kegagalan. Banyak contoh lain yang memperlihatkan kesamaan dengan pola ini. Bahkan, pada tataran pikiran sekalipun, Albert Einstein telah menunjukkan bahwa teori relativitas dilahirkan dari ketekunan. Riset mutakhir yang dikutip dalam The Innovator’s DNA menemukan bahwa inovasi lahir 30% karena ‘nature‘ dan 70% lantaran ‘nurture‘.
Kita bisa belajar, orang yang sanggup melewati medan yang melelahkan ini adalah orang yang sangat berdisiplin dan tidak lekas patah arang. Begitu pula, organisasi atau perusahaan yang inovatif juga bertumpu pada upaya pencarian yang teratur. Banyak perusahaan yang melakukan pendekatan terstruktur terhadap aktivitas inovasi sukses melipatgandakan tingkat keberhasilan inovasi mereka.
Dengan upaya yang terstruktur, sesuatu yang inovatif lebih mungkin dilahirkan dibandingkan dengan ikhtiar yang serampangan. Dengan cara yang berdisiplin, inovasi bisa lahir dari “orang-orang biasa” (Bukankah ada anggapan bahwa inovasi hanya lahir dari genius kreatif?). Kreativitas memang menolong, tapi tanpa ikhtiar yang disiplin jangan berharap inovasi akan lahir. Inovasi di dunia teater Indonesia misalnya lahir dari orang-orang kreatif yang bekerja keras seperti, untuk menyebut beberapa nama, Rendra, Riantiarno, dan Teguh Karya.
Dalam organisasi, setiap orang punya kewajiban untuk mencari cara-cara baru dalam memecahkan masalah. Mitos belaka bahwa inovasi hanya bisa dilahirkan di ruang-ruang riset dan pengembangan. Di ruang pemasaran, cara-cara baru menawarkan produk atau jasa mesti terus dipikirkan. Di ruang distribusi, cara-cara baru mengirimkan produk dengan cepat dan aman harus terus dicari. Di ruang SDM, cara-cara baru mengelola organisasi wajib terus digodog.
Bahkan, inovasi yang mencengangkan lahir dari tidak adanya sekat-sekat yang kaku antara berbagai departemen. Sebuah produk tablet yang hebat, misalnya, lahir dari beragam pemikiran yang disumbangkan oleh departemen desain, teknologi, pemasaran, penjualan, dan distribusi. Inovasi yang hebat di saat sekarang lahir dari kolaborasi dari pikiran yang cemerlang dan kerja keras yang penuh disiplin yang tersebar di seluruh organisasi. Bahkan, bisa pula melibatkan orang-orang di luar organisasi.
Menyebarkan virus inovasi ke seluruh departemen inilah tugas penting para manajer. Inovasi bisa lahir dari siapapun, dan menjadi tugas manajemen perusahaan untuk menyediakan lingkungan kerja yang menyegarkan bagi tersemainya virus inovasi. Umpamanya, terbuka bagi ide baru dan tidak menyerah pada kegagalan. Industri kreatif yang lagi digadang-gadang membutuhkan keterbukaan semacam ini. 

Sumber :  Forum Kompas

Senin, 14 November 2011

Unik tapi fakta - Manusia paling jenius di dunia ternyata bukan Albert Einstein

Unik tapi Fakta - Siapakah manusia terjenius yang pernah dimiliki dunia? Da Vinci? John Stuart Mills? Atau Albert Einstein seperti yang selama ini diperkirakan orang?

Ketiganya memang dianggap jenus-jenius besar yang telah memberikan banyak pengaruh terhadap bidangnya masing-masing. Tapi gelar manusia terjenius yang pernah dimiliki dunia rasanya tetap layak diberikan kepada
William James Sidis. Siapakah ia? Mengapa namanya tenggelam dan kurang dikenal walau angka IQnya mencapai kisaran 250–-300?..





Keajaiban Sidis diawali ketika dia bisa makan sendiri dengan menggunakan sendok pada usia 8 bulan. Pada usia belum genap 2 tahun, Sidis sudah menjadikan New York Times sebagai teman sarapan paginya. Semenjak saat itu namanya menjadi langganan headline surat kabar : menulis beberapa buku sebelum berusia 8 tahun, diantaranya tentang anatomy dan astronomy. Pada usia 11 tahun Sidis diterima di Universitas Harvard sebagai murid termuda. Harvardpun kemudian terpesona dengan kejeniusannya ketika Sidis memberikan ceramah tentang Jasad Empat Dimensi di depan para professor matematika.

Lebih dasyat lagi : Sidis mengerti 200 jenis bahasa di dunia dan bisa menerjemahkannya dengan amat cepat dan mudah. Ia bisa mempelajari sebuah bahasa secara keseluruhan dalam sehari !!!!

Keberhasilan William Sidis adalah keberhasilan sang Ayah, Boris Sidis yang seorang Psikolog handal berdarah Yahudi. Boris sendiri juga seorang lulusan Harvard, murid psikolog ternama William James (Demikian ia
kemudian memberi nama pada anaknya) Boris memang menjadikan anaknya sebagai contoh untuk sebuah model pendidikan baru sekaligus menyerang sistem pendidikan konvensional yang dituduhnya telah menjadi biang keladi kejahatan, kriminalitas dan penyakit. Siapa yang sangka William Sidis kemudian meninggal pada usia yang tergolong muda, 46 tahun - sebuah saat dimana semestinya seorang ilmuwan berada dalam masa produktifnya. Sidis meninggal dalam keadaan menganggur, terasing dan amat miskin. Ironis.

Orang kemudian menilai bahwa kehidupan Sidis tidaklah bahagia. Popularitas dan kehebatannya pada bidang matematika membuatnya tersiksa. Beberapa tahun sebelum ia meninggal, Sidis memang sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci matematika - sesuatu yang selama ini telah melambungkan namanya. Dalam kehidupan sosial, Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan ia juga sering diasingkan oleh rekan sekampus. Tidak juga pernah memiliki seorang pacar ataupun istri. Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Ia kemudian memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengembara dalam kerahasiaan, bekerja dengan gaji seadanya, mengasingkan diri. Ia berlari jauh dari kejayaan masa kecilnya yang
sebenarnya adalah proyeksi sang ayah. Ia menyadarinya bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain. Namun, kesadaran memang sering datang terlambat.

Mengharukan memang usaha Sidis. Ada keinginan kuat untuk lari dari pengaruh sang Ayah, untuk menjadi diri sendiri. Walau untuk itu Sidis tidak kuasa. Pers dan publik terlanjur menjadikan Sidis sebagai sebuah
berita. Kemanapun Sidis bersembunyi, pers pasti bisa mencium. Sidis tidak bisa melepaskan pengaruh sang ayah begitu saja. Sudah terlanjur tertanam sebagai sebuah bom waktu, yang kemudian meledakkan dirinya sendiri.







Sumber : source 1
               source 2