Mahasiswa menjadi lakon dalam pembentukan kultur akademik. Sebagai seorang akademisi, mahasiswa dibebani tanggung jawab yang secara gamblang terangkum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kultur akademik menghendaki mahasiswa untuk bertindak dan melakukan proses kreatif, searah dengan kapasitasnya sebagai seorang intelektual. Namun dalam membentuk kultur tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem pembelajaran yang berjalan di masing-masing kampus. Singkat kata, jika sistemnya baik, maka tercipta kultur akademik yang baik. Sebaliknya, jika sistemnya salah, maka kultur akademik akan berbalik arah dan terbentuk kultur-kultur yang negatif. Termasuk kultur plagiat.Tulisan ini tak bermaksud menegasikan suatu sistem pembelajaran kampus yang sudah berjalan. Penulis tak hendak mengatakan bahwa sistem tersebut sudah usang dan tak efektif lagi dan telah melenceng dari tujuan awal. Tulisan ini mencoba menghadirkan potensi dan kemungkinan yang terjadi dalam penerapan salah satu sistem pembelajaran di kampus.
Tugas Kuliah
Mahasiswa merupakan tokoh utama dalam penciptaan kultur akademik. Sebagai seorang individu, mahasiswa memiliki potensi yang harus dikembangkan. Lebih lanjut, kultur akademik merupakan proses untuk memberdayakan potensi tersebut secara matang dan seharusnya.Salah satu sistem pembelajaran yang dijalankan oleh kampus untuk mencapainya adalah dengan pemberian tugas kuliah kepada mahasiswa. Umumnya tugas kuliah yang dibebankan masih berhubungan dengan dunia literasi. Pembuatan makalah, paper maupun skripsi dan sejenisnya. Tujuannya tak lain adalah agar mahasiswa mampu mengusai materi, melatih dalam mempertajam analisis, serta yang terpenting adalah bagaimana ia bisa mempertanggungjawabkan “karya” yang telah dibuatnya. Sebab “beban” kuliah tersebut mau tak mau dihadirkan dalam ruang publik sebagai sebuah wacana yang dituntut validitas dan kesahihannya. Apakah “karya” tersebut diperkuat oleh teori, dan apakah koheren dengan situasi di lapangan? Sampai pada titik ini, pemberian tugas kuliah tersebut memang menumbuhkan optimisme dalam pemberdayaan mahasiswa. Namun pertanyaan yang segera muncul, apakah mahasiswa menyelesaikan tugas tersebut dengan baik?
Saya yang juga seorang mahasiswa yang kenyang akan tugas-tugas pembuatan makalah dan sejenisnya, sering menemukan kenyataan yang tak etis dalam proses penyelesaian tugas kuliah tersebut. Banyak di antara mahasiswa yang melakukan penjiplakan (plagiat), baik dalam ukuran sedikit, sebagian, bahkan seluruhnya. Pertanyaan selanjutnya yang muncul, mengapa fenomena ini terjadi?Setidaknya fenomena ini bisa dilacak sebabnya setidaknya dari dua sisi. Pertama, dari mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang merasa kesulitan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Diperparah dengan deadline waktu penyelesaian tugas serta tuntutan pembuatan tugas yang bagus karena masuk dalam penilaian.
Kedua, dari jenis tugas yang diberikan. Sistem pembelajaran di kampus yang lumrah akan tugas yang berhubungan dengan dunia literasi memberi peluang untuk melakukan plagiat. Makalah atau skripsi misalnya. Idealnya buku atau referensi yang lain menghendaki hanya digunakan sebagai landasan pemikiran hasil temuan dilapangan atau paling tidak menjadi dasar argumennya. Sehingga apa yang tertulis dalam buku tidak ditulis secara keseluruhan dalam makalah. Tapi saya sering menemukan hasil makalah maupun dalam proses pembuatannya, seorang mahasiswa membuat makalah hanya menggunakan satu buku referensi, tapi menulis referensi yang menjadi referensi buku tersebut (referensi dalam referensi). Artinya ia tidak menyebutkan referensi tanpa tahu wujud bukunya.Hal ini sering terjadi karena dalam pemberian tugas, seorang dosen memberikan tema yang sama dengan bagian pembahasan (BAB) dalam buku. Tentu ini menggoda mahasiswa untuk berlaku sebagai plagiat. Lebih ironis, saya juga sering menemukan mahasiswa yang menjiplak makalah yang kebetulan bertema sama. Baik dari kelas lain yang jurusannya sama dan kebetulan dosen pangampu juga sama.
Dari segi hasil, ada kemungkinan makalah tersebut sesuai aturan. Namun dari segi pertanggungjawabannya tentu mengecewakan. Kultur akademik yang seharusnya tercipta melalui pelatihan tersebut justru melenceng jauh. Jauh dari kebenaran ilmiah. Artinya sebuah tugas kuliah dalam bentuk karya tulis (makalah), di dalamnya harus sesuai dengan pernyataan (teori) sebelumnya. Sebab menurut Derrida, dalam proses peneluran gagasan, sebenarnya hanya menggunakan istilah-istilah, statement dan proposisi yang lain tapi secara subtansial maksudnya sama. Artinya apa yang kita tulis atau fakta yang kita temukan di lapangan sebelumnya sudah ada teorinya. Lebih dari itu, pernyataan ilmiah juga harus dilegimitasi oleh keadaan faktual sehingga bisa dikatakan valid dan representatif.
Keutamaan
Sebagai mahasiswa, tugas kuliah memang menjadi beban. Namun sebenarnya itulah jalan untuk benar-benar menjadi insan akademis. Berlatih untuk menyampaikan kebenaran secara gamblang dan obyektif. Dengan kata lain, buah karya yang dihasilkan dalam hal ini haruslah sistematis, logis, dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebab inilah keutamaan seorang akademisi. Sebagaimana keutamaan seorang ulama, yakni pengusaan terhadap ilmu agama. Demikian halnya dengan seorang penulis, keutamaannya adalah karya. Jika ia tidak punya karya, maka dia kehilangan keutamaannya. Dengan demikian jika seorang akademisi melakukan plagiat, atau tidak mengemukakan kebenaran karya, maka ia kehilangan keutamaannya. Identitas paling esensial terpangkas.
Sebenarnya tak ada satu pun sistem pembelajaran yang menghendaki laku plagiat, termasuk yang dikemukakan sebelumnya. Sistem pembelajaran dirancang untuk memberdayakan potensi mahasiswa dalam kapasitas tertentu. Tugas semacam tesis, makalah, dan paper menghendaki mahasiswa untuk aktif dalam memberdayakan keilmuwan mereka sendiri. Kebenaran ilmiah sering disebut sebagai kebenaran akademik. Sebab kultur akademik identik akan hal-hal yang sifatnya ilmiah. Dan mahasiswa dalam hal ini menjadi lakon utama.
Sumber : Plagiarism
Tidak ada komentar:
Posting Komentar