Hukum Cyber ITE
Latar belakang adanya UU ITE ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum di bidang informasi dan transaksi elektronik. Jaminan tersebut penting, mengingat perkembangan teknologi informasi telah mengakibatkan perubahan-perubahan di bidang ekonomi dan sosial. Perkembangan teknologi informasi telah memudahkan kita mencari dan mengakses informasi dalam dan melalui sistem komputer serta membantu kita untuk menyebarluaskan atau melakukan tukar-menukar informasi dengan cepat. Jumlah informasi yang tersedia di internet semakin bertambah terus tidak dipengaruhi oleh perbedaan jarak dan waktu. Perkembangan seperti inilah memungkinkan orang untuk melakukan kejahatan ataupun kecurangan di dunia maya. Hal inilah mendorong pemerintah untuk membuat hukum di lingkungan cyberini.
Memang UU ini masih mengundang berbagai kontroversi mulai dari permasalahan terkekangnya kebebasan pers sampai ketidakpastian hukum pada beberapa pasal yang terakhir menyebabkan kasus seperti Prita. Namun jika dilihat secara keseluruhan, ini merupakan sebuah kemajuan Indonesia di bidang cyber, terutama undang-undang ini diharapkan dapat melindungi para konsumen ataupun penjual di dunia maya. UU ITE khususnya pada Bab V pasal 17 sampai dengan pasal 22 menciptakan aturan baru dibidang transaksi elektronik yang selama ini masih belum ada. Walaupun aturan tentang transaksi elektronik tidak diatur secara khusus dalam suatu undang-undang, keberadaan pasal inilah yang dapat digunakan bagi pengguna e-commerce. Terlebih saat ini pemerintah tengah mematangkan lahirnya Peraturan Pemerintah di bidang Transaksi Elektronik.
Namun, untuk mencapai tahap di mana melindungi konsumen dan pelaku e-commerce dengan UU ini sepertinya tidak akan gampang. Seperti yang kita ketahui transaksi e-commerce sudah pasti sebuah transaksi maya, walau demikian transaksi elektronik dalam e-commerce di Indonesia harus tetap tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keberadaan UU ITE dapat dijadikan partner hukum UU Perlindungan Konsumen untuk saling mendukung satu sama lainnya. Masalahnya, bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commercetersebut tidak berada pada wilayah domisili yurisdiksi Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu kelemahan penggunaan UU Perlindungan Konsumen dalam transaksi e-commerce. UUPK secara tegas menekankan bahwa aturan tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia.
Selain itu, secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan ”cara-cara yang disepakati” oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat sehingga dalam sudut pandang perlindungan konsumen, konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut. Hal ini berkenaan dengan klausula baku yang disusun oleh pelaku usaha yang memanfaatkan media internet. Artinya, hak pelaku usaha e-commerce dilindungi begitu pembeli menekan “I agree”, tetapi belum tentu bagi konsumen. Di sini letak ketidakseimbangan bagi konsumen.
Belakangan bermunculan desakan-desakan untuk melakukan revisi atas UU ini. Diharapkan memang akan dilakukannya perubahan sehingga nantinya perundang-undang mengenai transaksi online semakin jelas dan dapat berlaku adil bagi pihak pembeli maupun penjual di dunia maya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar