Rabu, 04 April 2012

Artikel Bab 8. RUU ITE

IMPLIKASI PEMBERLAKUAN RUU ITE

Pelanggaran hukum dalam transaksi elektronik dan perbuatan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang mengkhawatirkan, mengingat berbagai tindakan, seperti carding, hacking, cracking, phising, viruses, cybersquating, pornografi, perjudian (online gambling), transnasional crime yang memanfaatkan informasi teknologi sebagai “tool” telah menjadi bagian dari aktivitas pelaku kejahatan internet. Oleh karena itu, Pemerintah memandang RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mutlak diperlukan bagi Negara Indonesia, karena saat ini Indonesia merupakan salah satu Negara yang telah menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi secara luas dan efisien, namun belum memiliki undang-undang cyber.

Cakupan materi RUU ITE, antara lain : informasi dan dokumen elektronik, pengiriman dan penerimaan surat elektronik, tanda tangan elektronik, sertifikat elektronik, penyelenggaraan system elktronik, transaksi elektronik, hak atas kekayaan intelektual dan privasi. Hal-hal demikian, dikemukakan Dirjen Aplikasi Telematika Kominfo, Cahyana Ahmadjayadi dalam penjelasannya kepada jabarprov.go.id, Senin (11/12) di Hotel Panghegar Bandung, disela acara Sosialisasi RUU tentang ITE.
Menurut Cahyana, bahwa UU tentang ITE akan memberikan manfaat, yaitu : akan menjamin kepastian hokum bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi dan melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi. Adapun terobosan-terobosan yang penting yang dimilikinya, imbuh Cahyana, adalah, pertama, tanda tangan elektronik diakui memiliki kekuatan hokum yang sama dengan tandatangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Kedua, alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP. Ketiga, Undang-Undang ITE, berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hokum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hokum di Indonesia. Keempat, penyelesaian sengketa, juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternative atau arbitrase.

Fakta menunjukan, demikian Cahyana, masyarakat umum dan perbankan khususnya telah melakukan kegiatan transaksi yang seluruhnya menggunakan teknologi informasi sebagai alat (tools). Berdasarkan data transaksi elektronik melalui perbankan di Indonesia (BI 2005), jumlahtransaksi mencapai 1,017 milliar (39,9 juta pemegang kartu), dengan nilai transaksi mencapai Rp 1.183,7 trilyun yang dikelola 107 penyelenggara. Mengingat transaksi elektronik ini meningkat, maka sangat diperlukan payung hukum untuk mengaturnya, untuk itulah UU ITE menjadi urgen dan mendesak, demikian Dirjen APL Telematika Depkominfo, Cahyana Ahmadjayadi.
UU ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal mencakup materi mengenai Informasi dan Dokumen Elektronik; Pengiriman dan Penerimaan Surat Elektronik; Tanda Tangan Elektronik; Sertifikat Elektronik; Penyelenggaraan Sistem Elektronik; Transaksi Elektronik; Hak Atas kekayaan Intelektual; dan Perlindungan Data Pribadi atau Privasi. Sebagai tindak lanjut UU ITE, akan disusun beberapa RPP sebagai peraturan pelaksanaan, yaitu mengenai Lembaga Sertifikasi Kehandalan, Tanda Tangan Elektronik, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, Penyelenggaraan Sistem Elektronik, Transaksi Elektronik, Penyelenggara Agen Elektronik, Pengelola Nama Domain, Lawful Interception, dan Lembaga Data Strategis.

Melengkapi Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah ada, UU ITE juga mengatur mengenai hukum acara terkait penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) yang memberi paradigma baru terhadap upaya penegakkan hukum dalam rangka meminimalkan potensi abuse of power penegak hukum sehingga sangat bermanfaat dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum. “Penyidikan di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data atau keutuhan data, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 42 ayat (2)). Sedangkan Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat dan wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum (Pasal 42 ayat (3)).”

Pengaturan tersebut tidak berarti memberikan peluang/pembiaran terhadap terjadinya upaya kejahatan dengan menggunakan sistem elektronik, karena dalam halhal tertentu penyidik masih mempunyai kewenangan melaksanakan tugasnya sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Dalam hal pelaku kejahatan tertangkap tangan, penyidik tidak perlu meminta izin, serta dalam hal sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuan (Pasal 38 ayat (2) KUHAP.

Tulisan ini merupakan rangkaian dari tulisan saya sebelumnya, yang masih berkutat di sekitar penerapan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE yang diberlakukan sejak April 2008 lalu ini memang merupakan terobosan bagi dunia hukum di Indonesia, karena untuk pertama kalinya dunia maya di Indonesia mempunyai perangkat. Karena sifatnya yang berisi aturan main di dunia maya, UU ITE ini juga dikenal sebagai Cyber Law.
Sebagaimana layaknya Cyber Law di negara-negara lain, UU ITE ini juga bersifat ekstraterritorial, jadi tidak hanya mengatur perbuatan orang yang berdomisili di Indonesia tapi juga berlaku untuk setiap orang yang berada di wilayah hukum di luar Indonesia, yang perbuatannya memiliki akibat hukum di Indonesia atau di luar wilayah Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa bila ada blogger di Belanda yang menghina Presiden SBY melalui blognya yang domainnya Belanda, bisa terkena keberlakuan UU ITE ini. Pasal dalam Undang-undang ITE Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia berangkat dari mulai banyaknya transaksi-transaksi perdagangan yang terjadi lewat dunia maya. Atas transaksi-transaksi tersebut, sudah sewajarnya konsumen, terutama konsumen akhir (end-user) diberikan perlindungan hukum yang kuat agar tidak dirugikan, mengingat transaksi perdagangan yang dilakukan di dunia maya sangat rawan penipuan.

Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content yang memuat unsur-unsur pornografi, pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya.

Terdapat sekitar 11 pasal yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis perbuatan yang dilarang. Dari 11 Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan membahayakan blogger, pasal-pasal yang mengatur larangan-larangan tertentu di dunia maya, yang bisa saja dilakukan oleh seorang blogger tanpa dia sadari. Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), serta Pasal 45 ayat (1) dan (2).

Pasal 27 ayat (1) ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Pasal 27 ayat (3)”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. ”Pasal 28 ayat (2)“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut, UU ITE memberikan sanksi yang cukup berat sebagaimana di atur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2). Pasal 45 ayat (1)
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 45 ayat (2)“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”


Kronologis perjalanan UU ITE:

Perjalanan UU ITE memerlukan waktu yang lama (5 tahun). Hal ini menyebabkan UU ITE menjadi sangat lengkap karena RUU ITE telah melalui banyak pembahasan dari banyak pihak. Sehingga konsultan yang disewa oleh DEPKOMINFO pun menilai bahwa UU ITE ini terlalu ambisius karena Indonesia adalah negara satu-satunya di dunia yang hanya mempunyai satu Cyber Law untuk mengatur begitu luasnya cakupan masalah dunia Cyber, sementara negara lain minimal memiliki tiga Cyber Law. Namun Bapak Cahyana sebagai pemateri malah bersyukur dengan keadaan ini.

Beliau menjelaskan lebih lanjut kondisi nyata di lapangan, betapa berbelitnya proses pengesahan suatu RUU di DPR. Sehingga bagi Indonesia lebih baik memiliki satu Cyber law saja sehingga DEPKOMINFO lebih leluasa menindak lanjuti UU ITE dengan membuat Peraturan Pemerintah yang masing-masing mengatur hal-hal yang lebih detail.

Latar belakang Indonesia Memerlukan UU ITE

Latar belakang Indonesia memerlukan UU ITE karena:
Hampir semua Bank di Indonesia sudah menggunakan ICT. Rata-rata harian nasional transaksi RTGS, kliring dan Kartu Pembayaran di Indonesia yang semakin cepat perkembangannya setiap tahun
Sektor pariwisata cenderung menuju e-tourism ( 25% booking hotel sudah dilakukan secara online dan prosentasenya cenderung naik tiap tahun)
Trafik internet Indonesia paling besar mengakses Situs Negatif, sementara jumlah pengguna internet anak-anak semakin meningkat.
Proses perijinan ekspor produk indonesia harus mengikuti prosedur di negera tujuan yang lebih mengutamakan proses elektronik. Sehingga produk dari Indonesia sering terlambat sampai di tangan konsumen negara tujuan daripada kompetitor.
Ancaman perbuatan yang dilarang (Serangan (attack), Penyusupan (intruder) atau Penyalahgunaan (Misuse/abuse)) semakin banyak.(sumber :


PERATURAN DAN REGULASI
Undang Undang No. 36 Telekomunikasi

Menimbang :


Bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
Bahwa penyelenggaan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antarbangsa;
Bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi;Bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandarig terhadap telekomunikasi tersebut, perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional;
Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai Iagi, sehingga perlu diganti;
Mengingat :


Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA memutuskan untuk menetapkan UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI.

KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik Iainnya;
Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
Sarana dan prasarana tetekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
Menteri adalah Menteri yang ruang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.


Sumber : http://roseshit.blogspot.com/2012/03/implikasi-pemberlakuan-ruu-ite.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar